Rabu, 22 Januari 2020

PERSPEKTIF HUKUM DALAM KASUS QASEM SOLEIMANI

Mayjen Qasem Soleimani

Presiden Trump mengatakan bahwa Soleimani telah merencanakan serangan kepada diplomat AS, sehingga ia memerintahkan untuk melakukan serangan dengan mengunakan drone (pesawat tanpa awak) untuk membunuh komandan militer Iran Qasem Soleimani diwilayah Irak. Lalu pertanyaannya adalah: apa dasar hukum dari tindakan ini? Amerika Serikat berangapan bahwa eksekusi tersebut untuk mencegah rencana serangan Irak terhadap Iran. Kejadian itu memunculkan pertanyaan terhadap bagaimana menilai legalitas hukum internasionalnya ?

Dalam Piagam PBB dimungkinkan bahwa satu negara dapat bertindak untuk membela diri jika terjadi serangan bersenjata. Tetapi definisi ini masih dapat ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai Negara demikian kata para pakar hukum.

Dalam kasus Soleimani, Amerika Serikat mengklaim telah bertindak membela diri untuk mencegah serangan, jika itu benar, maka kategori tindakan tersebut pada dasarmya dapat dibenarkan oleh piagam PBB menurut Dapo Akande, profesor hukum internasional dari Universitas Oxford. Walaupun demikian seorang pejabat PBB, Agnes Callamard, menyatakan bahwa kejadian tersebut tetap tidak dapat dibenarkan.

Berdasarkan dokumen PBB tahun 2010 tentang "pembunuhan tertentu" dapat diasumsikan oleh para ahli bahwa pertahanan sebagai hak untuk menggunakan kekuatan terhadap ancaman yang nyata dan aktual dalam rangka mempertahankan diri. Departemen Pertahanan Amerika Serikat menyatakan bahwa serangan ini bertujuan untuk menggagalkan serangan Iran dan mereka juga memberi informasi bahwa pemimpin militer Iran Soleimani secara aktif mengembangkan rencana dengan para agennya di Irak untuk menyerang Irak. Sama seperti pernyataan Presiden Trump bahwa Soleimani telah merencanakan serangan terhadap Irak.

Seorang calon presiden AS dari partai Demokrat, Elizabeth Warren, mengatakan bahwa: Pemerintah seharusnya tidak dapat membela diri dengan memberikan pernyataan seperti itu karena belum ada bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa akan ada serangan terencana dari Iran. Sehingga Legalitas serangan tersebut tergantung pada bagaimana Amerika Serikat dapat memberikan bukti dari serangan tersebut demikian kata Professor Akande.

Pemerintah Amerika Serikat belum secara terbuka menginformasikan tentang detail bukti tersebut, tetapi telah mengklaim bahwa data-data tersebut sudah diberikan kepada beberapa pejabat tertentu di Kongres Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompei pada 7 Januari 2020 mengatakan bahwa insiden itu mengarah pada satu ancaman bagi AS melalui serangan itu, tetapi tidak mengkonfirmasi ancaman terhadap AS dari serangan itu.

Menurut Dr. Ralf Wilde, pakar hukum internasional di University College London, bahwa ada alasan lain. Sejak 11 September, Amerika Serikat telah mengambil posisi mempertahankan diri sehingga telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan serangan pada masa depan.

Lalu apakah sebenarnya Amerika Serikat boleh untuk menyerang di wilayah Irak? Terhadap hal tersebut, anggota parlemen Irak bereaksi keras dan memberi resolusi untuk menyerukan agar pasukan AS segera meninggalkan wilayah negara itu. Pemerintah Irak menyatakan bahwa hal tersebut adalah suatu pelanggaran serius terhadap kedaulatan Irak. Dikatakan bahwa pasukan AS dikirim ke wilayah Irak untuk berperang melawan kelompok "Negara Islam", sementara Amerika Serikat mengatakan bahwa kejadian ini adalah bentuk pembelaan kepentingan dan personel mereka di Irak sesuai Hukum Internasional. Namun Akande mengatakan kondisi nyata keberadaan militer AS di wilayah tersebut seharusnya tidak perlu sampai melakukan serangan semacam itu.

Lalu bagaimana dengan kemungkinan kerusakan yang terjadi seperti misalnya pada benda budaya? Terkait hal tersebut, Presiden Trump sendiri memberikan pernyataan melalui tweeter bahwa Amerika Serikat akan fokus pada kegiatan tersebut sehingga bagi Amerika bahwa benda budaya adalah "penting bagi Iran dan budaya Iran" sehingga harus dijaga. Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan bahwa serangan terhadap benda-benda budaya harus dianggap sebagai kejahatan perang.

Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Warisan Budaya melindungi benda-benda budaya setelah penghancuran warisan budaya selama Perang Dunia II dan konvensi itu juga ditandatangani oleh Amerika Serikat.

Pada tahun 2017, PBB mengeluarkan resolusi dalam menanggapi serangan oleh negara-negara Islam, yang mengutuk suatu penghancuran ilegal terhadap warisan budaya diantaranya termasuk penghancuran situs-situs keagamaan dan artefak hal ini merujuk pada penghancuran monumen bersejarah Palmyra di Suriah pada 2015 dan Buddha Bamiyan di Afghanistan pada 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar