Mayjen Qasem Soleimani |
Presiden Trump mengatakan
bahwa Soleimani telah merencanakan serangan kepada diplomat AS, sehingga ia
memerintahkan untuk melakukan serangan dengan mengunakan drone (pesawat tanpa
awak) untuk membunuh komandan militer Iran Qasem Soleimani diwilayah Irak. Lalu
pertanyaannya adalah: apa dasar hukum dari tindakan ini? Amerika Serikat berangapan
bahwa eksekusi tersebut untuk mencegah rencana serangan Irak terhadap Iran. Kejadian
itu memunculkan pertanyaan terhadap bagaimana menilai legalitas hukum internasionalnya
?
Dalam Piagam PBB dimungkinkan
bahwa satu negara dapat bertindak untuk membela diri jika terjadi serangan
bersenjata. Tetapi definisi ini masih dapat ditafsirkan secara berbeda oleh
berbagai Negara demikian kata para pakar hukum.
Dalam kasus Soleimani,
Amerika Serikat mengklaim telah bertindak membela diri untuk mencegah serangan,
jika itu benar, maka kategori tindakan tersebut pada dasarmya dapat dibenarkan oleh
piagam PBB menurut Dapo Akande, profesor hukum internasional dari Universitas
Oxford. Walaupun demikian seorang pejabat PBB, Agnes Callamard, menyatakan
bahwa kejadian tersebut tetap tidak dapat dibenarkan.
Berdasarkan dokumen PBB
tahun 2010 tentang "pembunuhan tertentu" dapat diasumsikan oleh para
ahli bahwa pertahanan sebagai hak untuk menggunakan kekuatan terhadap ancaman yang
nyata dan aktual dalam rangka mempertahankan diri. Departemen Pertahanan
Amerika Serikat menyatakan bahwa serangan ini bertujuan untuk menggagalkan
serangan Iran dan mereka juga memberi informasi bahwa pemimpin militer Iran
Soleimani secara aktif mengembangkan rencana dengan para agennya di Irak untuk
menyerang Irak. Sama seperti pernyataan Presiden Trump bahwa Soleimani telah
merencanakan serangan terhadap Irak.
Seorang calon presiden AS
dari partai Demokrat, Elizabeth Warren, mengatakan bahwa: Pemerintah seharusnya
tidak dapat membela diri dengan memberikan pernyataan seperti itu karena belum
ada bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa akan ada serangan terencana dari
Iran. Sehingga Legalitas serangan tersebut tergantung pada bagaimana Amerika
Serikat dapat memberikan bukti dari serangan tersebut demikian kata Professor Akande.
Pemerintah Amerika Serikat
belum secara terbuka menginformasikan tentang detail bukti tersebut, tetapi
telah mengklaim bahwa data-data tersebut sudah diberikan kepada beberapa pejabat
tertentu di Kongres Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompei pada 7
Januari 2020 mengatakan bahwa insiden itu mengarah pada satu ancaman bagi AS
melalui serangan itu, tetapi tidak mengkonfirmasi ancaman terhadap AS dari serangan
itu.
Menurut Dr. Ralf Wilde,
pakar hukum internasional di University College London, bahwa ada alasan lain. Sejak
11 September, Amerika Serikat telah mengambil posisi mempertahankan diri sehingga
telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan serangan pada masa depan.
Lalu apakah sebenarnya Amerika
Serikat boleh untuk menyerang di wilayah Irak? Terhadap hal tersebut, anggota
parlemen Irak bereaksi keras dan memberi resolusi untuk menyerukan agar pasukan
AS segera meninggalkan wilayah negara itu. Pemerintah Irak menyatakan bahwa hal
tersebut adalah suatu pelanggaran serius terhadap kedaulatan Irak. Dikatakan
bahwa pasukan AS dikirim ke wilayah Irak untuk berperang melawan kelompok
"Negara Islam", sementara Amerika Serikat mengatakan bahwa kejadian ini
adalah bentuk pembelaan kepentingan dan personel mereka di Irak sesuai Hukum
Internasional. Namun Akande mengatakan kondisi nyata keberadaan militer AS di
wilayah tersebut seharusnya tidak perlu sampai melakukan serangan semacam itu.
Lalu bagaimana dengan
kemungkinan kerusakan yang terjadi seperti misalnya pada benda budaya? Terkait
hal tersebut, Presiden Trump sendiri memberikan pernyataan melalui tweeter
bahwa Amerika Serikat akan fokus pada kegiatan tersebut sehingga bagi Amerika
bahwa benda budaya adalah "penting bagi Iran dan budaya Iran"
sehingga harus dijaga. Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan bahwa serangan
terhadap benda-benda budaya harus dianggap sebagai kejahatan perang.
Konvensi Den Haag 1954
tentang Perlindungan Warisan Budaya melindungi benda-benda budaya setelah
penghancuran warisan budaya selama Perang Dunia II dan konvensi itu juga ditandatangani
oleh Amerika Serikat.
Pada tahun 2017, PBB
mengeluarkan resolusi dalam menanggapi serangan oleh negara-negara Islam, yang
mengutuk suatu penghancuran ilegal terhadap warisan budaya diantaranya termasuk
penghancuran situs-situs keagamaan dan artefak hal ini merujuk pada penghancuran
monumen bersejarah Palmyra di Suriah pada 2015 dan Buddha Bamiyan di
Afghanistan pada 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar